Dalam dunia bisnis yang semakin kompleks dan diatur dengan ketat, transparansi menjadi elemen kunci untuk memastikan kepercayaan dan integritas. Para pemangku kepentingan, termasuk investor, mitra bisnis, dan pemerintah, mengandalkan keterbukaan informasi untuk menilai kredibilitas suatu perusahaan. Tanpa transparansi yang memadai, risiko penyalahgunaan kekuasaan dan praktik ilegal akan semakin tinggi, yang pada akhirnya dapat merusak ekosistem bisnis secara keseluruhan.
Salah satu langkah penting yang diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan transparansi adalah melalui kewajiban pelaporan Beneficial Owner (BO). Peraturan ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018, yang mengharuskan perusahaan melaporkan siapa pemilik manfaat sebenarnya di balik struktur kepemilikan perusahaan. Dengan kebijakan ini, diharapkan perusahaan dapat beroperasi dengan lebih terbuka, sekaligus mempermudah pengawasan oleh otoritas yang berwenang.
Pemilik manfaat (beneficial owner) dalam Pasal 1 angka 2 Perpres 13/2018 didefinisikan sebagai pemilik manfaat sebagai individu yang memiliki hak untuk menunjuk atau memberhentikan pengurus di suatu korporasi, memiliki kendali atas korporasi, serta berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi.
Secara sederhana, pemilik manfaat adalah individu yang sebenarnya memiliki atau mengendalikan perusahaan atau aset, meskipun tidak tercantum secara resmi dalam akta perusahaan.
Kewajiban pelaaporan BO ini tidak hanya bertujuan untuk mengungkap identitas sebenarnya dari pihak yang mengendalikan perusahaan, tetapi juga untuk mencegah praktik-praktik ilegal seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Perusahaan yang tidak melaporkan Pemilik Manfaat akan dikenakan sanksi berupa pemblokiran akses di Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) oleh Kementerian Hukum dan HAM, yang turut memengaruhi sistem Online Single Submission (OSS). Akibat pemblokiran ini, perusahaan tidak dapat melakukan perubahan atau pembaruan data penting, seperti struktur kepemilikan saham, susunan Direksi dan Dewan Komisaris, serta revisi anggaran dasar.
Terdapat 2 (dua) waktu pelaporan BO kepada Kementerian Hukum dan HAM tersebut dilakukan, yakni pada saat permohonan pendirian, pendaftaran, dan/atau pengesahan korporasi atau ketika korporasi telah menjalankan usaha atau kegiatannya.
Beberapa informasi yang harus ada dalam pelaporan BO diantaranya:
- Nama lengkap pihak BO;
- Nomor identitas kependudukan/surat izin mengemudi/paspor BO;
- Tempat dan tanggal lahir BO;
- Kewarganegaraan BO;
- Alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas BO atau alamat di negara asal dalam hal BO warga negara asing;
- Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) BO atau nomor identitas perpajakan yang sejenis jika BO merupakan Warga Negara Asing; dan
- Deskripsi hubungan antara korporasi dengan BO.
Butuh bantuan dalam mengurus legalitas usaha? Silakan hubungi Lex Mundus melalui chat Whatsapp pada halaman ini atau email ke [email protected]. Terima kasih.